You will never be completely at home again because part of your heart will always be elsewhere. That is the price you pay for the richness of loving and knowing people in more than one place. -Unknown
Tak terasa, sudah tiga bulan aku pergi meninggalkan tanah air untuk mewujudkan salah satu mimpiku. Meskipun terbilang cukup singkat, pengalaman yang sudah aku dapat di Jepang bukanlah sedikit. Dari tempatku berdiri sekarang, tiga bulan ke belakang sudah menjadi perjalanan yang luar biasa, bak roller coaster yang sedang melaju kencang pada jalur yang tidak beraturan. Ternyata menjadi seorang siswa pertukaran pelajar bukanlah hal yang mudah pun tidak seindah unggahan instastory¬ yang biasa kalian lihat. Terutama dengan kabar duka tentang bencana alam dan berbagai kecelakaan yang datang. Rasa khawatir sudah menjadi bagian dari petualanganku. Tapi ini bukan cerita tentang kesulitan yang aku hadapi. Kali ini aku akan berbagi cerita tentang seiris pengalaman dan pelajaran yang telah aku dapatkan.
Kalau ditanya alasan memilih Jepang, secara teknis Jepang bukan pilihanku. Saat harus mengurutkan pilihan negara, aku lebih condong memilih negara-negara di Eropa karena gaya hidup dan budaya yang jauh berbeda dengan negara di Asia, yang dulu kupikir dapat membuahkan pengalaman-pengalaman baru yang tidak biasa. Tetapi, bukan berarti aku tidak tertarik dengan negara matahari terbit ini. Buktinya saja, pelajaran lintas minat yang aku pilih di kelas adalah Bahasa Jepang (salam sayang untuk Panah-Panah Asmaraku, kelas XII.1 2018/2019 yang dibina Pak Erhan). Jadi, Jepang juga ada di dalam urutan negara yang ingin aku kunjungi meskipun bukan di urutan teratas. Tibalah detik-detik terakhir setelah semua siswa sudah mendapatkan negara penempatan dan harapanku untuk menjadi siswa pertukaran pelajar menipis. Kemudian harapan itu pupus ketika aku mendapat surat berisi pernyataan bahwa aku tidak mendapatkan negara penempatan setelah semua seleksi dan perjuangan yang aku lakukan setahun ke belakang. Perasaanku saat itu? hampir tidak sedih sama sekali. Aku diajarkan orang tuaku untuk yakin, apapun hasil akhir yang kuterima tentunya adalah yang terbaik untukku. Aku juga percaya bahwa masih banyak kesempatan lain terbuka dan menungguku untuk datang menjemput. Hingga pada akhirnya pada tanggal 3 Juli 2018, aku dihubungi oleh pihak Bina Antarbudaya. Mereka membawakan berita bahwa aku terpilih untuk berpartisipasi dalam program Asia Kakehashi Project 2018. Aku kira aku tidak perlu menjelaskan bagaimana perasaanku saat itu.
Program ini sendiri merupakan hasil kerjasama dengan pemrintah Jepang untuk mengundang pelaja-pelajar dari seluruh Asia yang memiliki minat tentang segala hal yang bersangkutan dengan negara Jepang, entah itu bahasa ataupun budaya. Dilatarbelakangi oleh populasi penduduk di Jepang yang mulai berkurang, pihak pemerintah Jepang berharap agar pada tahun 2020 mereka sudah dapat mengundang total 1000 siswa dari seluruh Asia untuk belajar tentang budaya Jepang sekaligus menjadi penjembatan antar negara-negara di Asia. Sesuai dengan nama programnya, “Kakehashi†yang berarti jembatan. Program ini telah mempertemukanku dengan 99 siswa hebat dari seluruh Asia. Kalau boleh jujur, aku bukan siswa yang selalu aktif di kelas. Bukan pula siswa dengan segudang prestasi yang diumumkan setiap hari senin. Boleh dibilang, aku hanyalah siswa biasa pada umumnya yang beruntung. Maka dari itu, aku sangat bersyukur dan berterimakasih kepada Allah Swt dan orang tua serta guru-guru dan teman-teman yang telah mendoakanku. Bagiku, berada di tempatku sekarang adalah sebuah nikmat dan kesempatan yang luar biasa.
Setelah sampai, hidup, dan merasakan sendiri tinggal di negara ini, menurutku Jepang adalah negara yang unik. Jepang memiliki keseimbangan yang baik antara budaya dan nilai-nilai tradisional yang masih dijunjung tinggi dan teknologi yang serba modern dan praktis. Transportasi umum seperti kereta bawah tanah, kereta listrik, bus, dll., sangat memudahkan mobilitas penduduk. Mobil listrik bebas polusi juga sudah banyak digunakan, tentunya dengan mulai umumnya stasiun untuk mengisi ulang daya mobil. Dengan segala kemajuan teknologi dan fasilitas umum yang memadai, festival musiman dan pertunjukan tradisional masih hidup di tengah-tengah penduduk. Ekstrakurikuler seperti upacara teh (sadou-bu), merangkai bunga (kadou-bu), dan permainan kartu khas Jepang (karuta) masih dengan mudah dijumpai di sekolah-sekolah. Ekstrakurikuler olahraga seperti Judo dan Kenpo juga masih banyak diminati. Walaupun begitu, terdapat juga ekstrakurikuler lain seperti jurnalistik, sepak bola, penelitian MIPA, dan masih banyak lagi.
Hal lain yang aku kagumi adalah kualitas individu di sini. Berkat pendidikan karakter yang sudah dibina sejak kecil, siswa menjadi disiplin dan taat aturan. Saat pertemuan, dimulai dari memasuki area aula, selama acara berlangsung hingga acara selesai dan siswa keluar dari area aula, tidak ada suara gaduh yang dihasilkan oleh siswa yang berbicara dan guru tidak perlu menenangkan siswanya (dulu kupikir hal ini hanya mitos, hehehe). Bus pagi yang kutumpangi untuk pergi ke sekolah selalu penuh dengan siswa-siswa sebaya. Bahkan, aku tidak pernah mendapatkan tempat duduk di dalam bus. Tetapi saat ada wanita tua yang hendak menaikki bus, siswa yang duduk di kursi priority seat selalu dengan sigap berdiri dan memberi tempat untuk wanita tua tersebut duduk. Seperti yang telah aku sebutkan di artikel sebelumnya, siswa-siswa di sini juga sangat giat belajar. Setelah jam sekolah usai, masih banyak siswa yang tinggal untuk belajar mandiri. Ternyata hal tersebut tidak hanya terjadi di sekolahku. Sempat berbagi cerita dengan temanku yang tinggal di Nagoya, ia berkata bahwa teman-teman di sekolahnya juga melakukan hal yang sama. Bahkan ada yang belajar mandiri di sekolah hingga jam 10 malam! Contoh lainnya adalah komitmen, bimbingan, dan dukungan penuh dari pihak sekolah untuk mengantarkan siswa-siswanya menuju universitas dengan jurusan yang sesuai dengan minat dan kemampuan siswa tersebut. Saat ini aku duduk di kelas 2 atau setara dengan kelas XI dan setiap hari wali kelas selalu memberikan bimbingan terjadwal untuk lima orang siswa, untuk membahas universitas dan jurusan yang diminati siswa yang bersangkutan. Pernah beberapa kali orang tua siswa dipanggil untuk menghadiri pertemuan di sekolah, membahas hal yang sama. Sadar akan andil mereka, semua orang tua datang dan dapat diajak bekerjasama membicarakan masa depan anak-anaknya.
Setengah bab perjalananku selama di Jepang telah terisi. Tentunya, cukup banyak pelajaran yang telah aku dapatkan, salah satunya adalah kemampuan menguasai bahasa asing selain Bahasa Inggris. Kemampuan berbahasa Jepangku masih sangat jauh dari kata sempurna, tetapi hal tersebut tidak menyurutkan semangatku untuk terus belajar. Aku juga belajar tentang budaya Jepang yang tentunya menambah wawasanku seperti tata cara upacara teh, cara merangkai bunga, dan lain sebagainya. Melalui program pertukaran pelajar ini, aku dapat melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda, bukan hanya sekedar tayangan televisi. Aku jadi lebih paham bagaimana cara menghargai dan memahami sudut pandang orang lain, bagaimana menjadi pendengar yang baik dapat membuat kita menjadi individu yang lebih baik pula. Melihat bagaimana teman-temanku disini dapat menerimaku, menghargai tempat asalku dan kepercayaanku, melihat bagaimana orang-orang dari belahan dunia lain datang kemari dengan damai dan dapat berinteraksi dengan baik dan saling menerima satu sama lain, mengajarkanku bahwa harapan untuk dunia yang damai itu masih ada. Perbedaan ada bukan untuk saling menjatuhkan ataupun ajang tanding keunggulan. Perbedaan ada agar kita belajar dari satu sama lain, saling merangkul dan menciptakan dunia yang lebih baik untuk generasi mendatang.
Ada banyak pelajaran lain yang aku dapatkan. Di Jepang, aku belajar untuk menjalani hidup yang lebih sehat. Selama di sini, aku belum pernah menyantap makanan dari restoran siap saji. Hampir setiap hari buah dan sayur ada di dalam menu makananku. Makanan di Jepang juga jarang ada yang berminyak. Pada beberapa masakan tertentu, minyak yang digunakan adalah minyak zaitun, sehingga makanan menjadi lebih sehat. Saat musim gugur, aku juga sering bersepeda ke sekolah yang berjarak sekitar 8 kilometer dari rumah, atau bersepeda ke perpustakaan kota setiap pulang sekolah. Selain itu, aku banyak belajar tentang diriku sendiri. Tentang apa yang aku suka, apa yang aku mau, dan apa yang sebenarnya aku butuhkan. Bertemu dengan teman-teman dari belahan dunia lain membuatku sadar bahwa masih terlalu sedikit yang aku ketahui tentang dunia yang luas ini. Hal tersebut memotivasiku untuk belajar lebih banyak lagi. Tidak berhenti disitu, aku juga belajar menjadi individu yang lebih mandiri dan tidak selalu bergantung pada orang lain. Bila biasanya untuk pergi atau pulang sekolah aku selalu diantar-jemput, sekarang aku harus bisa pergi kemanapun dan pulang sendiri mengandalkan transportasi umum yang ada. Saat aku sakit, aku harus bisa pergi dan membeli obatku sendiri. Saat ada masalah, aku juga harus bisa mengatasinya sendiri. Tentu berbagai pelajaran tersebut tidak luput dari berbagai rintangan sulit yang telah aku lewati. Dari situ pula aku belajar untuk menjadi lebih siap menghadapi tantangan lain yang akan datang. Seperti kata orang, “Exchange isn’t a year in your life, it’s a life in a year.”
Aku rasa ceritaku hari ini kucukupkan sampai disini. Semoga degan berbagi pengalamanku ada pelajaran yang bisa kalian petik. Mohon doanya agar petualanganku dilancarkan, diberkahi, dan menjadi pengalaman yang tidak hanya bermanfaat untukku, tetapi juga dapat bermanfaat untuk orang lain. Terima kasih telah membaca dan sampai jumpa lagi! (Rizma Chaerani Heidy Putri, biasa dipanggil Karin atau Rizuma–nama panggilan selama di Jepang. Salah satu siswi SMAN 17 Palembang yang sedang menjalani exchange semester di Jepang melalui program ASIA KAKEHASHI PROJECT 2018)