Apa yang sebenarnya disebut dengan mimpi? Banyak anak-anak yang mengatakan mereka ingin jadi pilot, dokter, atau mungkin presiden. Tapi berapa banyak anak yang tidak mengubah mimpinya saat mereka beranjak dewasa dikarenakan suatu hal yang disebut kenyataan? Dari pilot jadi supir, dari dokter jadi perawat, dari presiden jadi pekerja kantoran, banyak mimpi yang berubah karena kenyataan yang harus dilawan terlampau berat untuk diatasi seorang remaja, dan akupun dulu seperti itu.
Aku pernah bermimpi untuk pergi ke Jepang, mencoba hidup jauh dari tanah air, memiliki sahabat, dan menikmati hidup. Namun kenyataan mengalahkan tekadku, kondisi ekonomi mengalahkan semangatku, dan ketidakmungkinan mengalahkan usahaku. Hingga aku menemukan secercah harapan yang bernama Asia Kakehashi. Inilah kisahku, dari seorang yang mengeluhkan ketidakmungkinan hingga menjadi seseorang yang mengatur ketidakmungkinan.
Pertama kali aku menemukan harapanku adalah saat aku beranjak SMA. Saat SMP, guru pernah bertanya kepadaku apa mimpimu, dan aku menjawab “Pergi ke Jepang”, namun itu hanyalah jawaban yang kuberikan agar tidak menjadi orang yang tidak punya mimpi, hanya sebuah alasan untuk melindungi ego diri sendiri. Alasan itu terus kusimpan hingga SMA.
Sekolahku adalah cabang AFS Palembang Indonesia, dan saat aku masih kelas satu, ada program pertukaran pelajar ke Amerika bernama KL-YES, namun aku melewatkannya. Mimpiku pergi ke Jepang, tapi kupikir tak harus ke Jepang, negara lain pun tak apa. Tetapi karena terlampau banyak berfikir, aku pun melewatkan rentang waktu pendaftaran KL-YES dan berharap pada tahun keduaku.
Tahun kedua SMA ku adalah bibit dari mimpiku. Semuanya dimulai saat sahabatku mendaftarkan diri dalam program AFS, dan saat inilah aku menemukan secercah harapan, yaitu sebuah program beasiswa gratis, satu semester (yang berarti tidak harus mengulang tahun sekolah), dan persyaratan yang mudah, seakan-akan memutarbalikkan semua alasan yang menghancurkan mimpiku. Aku pun mendaftarkan diri, dan satu tahun pun berlalu dengan menjalani berbagai rangkaian seleksi dan doa, hingga kepastian datang saat aku beranjak ke kelas 3 SMA. “Selamat, anda diterima dalam program Asia Kakehashi”. Bagaikan ayat suci agamaku “Nikmat apa lagi yang kamu dustakan?” menjadi kenyataan dan menunjukkan kebenarannya.
Aku pun sampai di jepang. Namun 1 bulan pertama kuhabiskan hanya di hotel menjalani kehidupan orientasi kedatangan bersama kurang lebih 150 pelajar (Gelombang pertama) dari berbagai negara di Asia. Kami pergi ke berbagai kuil, menjelajahi Universitas Tokyo, membahas United Nations Sustainable Development Goals (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan) bersama siswa Jepang di Universitas Nagoya dan menambah pertemanan dengan mereka, mengunjungi pameran budaya, mengikuti festival olahraga di Kawasaki, pergi ke distrik perbelanjaan Oosu untuk mengambil foto Purikura pertama, menyambut 50 siswa tambahan (Gelombang kedua) AFS Kakehashi, dan akhirnya meninggalkan hotel menuju ke host school (sekolah di Jepang).
Aku bersama dengan 9 siswa pertukaran pelajar lainnya tinggal di asrama yang disediakan oleh sekolahku. Kami memiliki kamar masing-masing yang dilengkapi dengan AC, tempat tidur, lemari, meja belajar, dan kursi yang semuanya terlihat mahal. Asramaku terdiri dari 10 lantai dengan WC tiap lantai yang dilengkapi toilet canggih yang penuh tombol, cermin 2 meter, alat pencuci tangan sensor gerak, tap water yang bisa diminum (hampir semua tap water di Jepang dapat diminum), dan yang paling penting adalah semuanya bersih. Untuk keperluan mandi, disini terdapat Onsen (Pemandian umum) dan ruangan shower tertutup. Asrama juga menyediakan 4 HDTV, ruang piano, drum, dan tenis meja. Makan pagi dan malam juga telah disediakan gratis, kami hanya perlu membayar untuk makan siang. Kami juga mendapat uang saku ¥25.000 (Rp3,2 Juta) per bulan.
Fasilitas memang nomor satu, tapi ada harga yang harus dibayar untuk fasilitas tersebut. Inilah masalah yang sedang kami hadapi, yaitu sekolah, atau lebih tepatnya pergaulan. Bagi siswa pertukaran pelajar negara lain, masalah pergaulan yang mereka pikirkan mungkin hanya sebatas language barrier, tapi lain kasusnya untuk di Jepang, terutama di sekolahku. Language barrier lebih parah di Jepang karena sangat sangat sedikit siswa Jepang yang bisa berbicara bahasa Inggris, walaupun mereka punya tiga mata pelajaran Bahasa Inggris. Namun ada penghalang dan perbedaan yang lebih mendasar. Orang Jepang berbeda dengan orang eropa, apalagi orang Indonesia. Mereka sangat sulit untuk dijadikan teman, apalagi sahabat, karena perbedaan cara berpikir yang signifikan antara mereka dengan orang Indonesia. Orang Jepang terlihat sangat ramah di luar, namun sangat sulit untuk menjadi seseorang yang dapat membuat mereka berbicara dengan sisi asli mereka, karena suatu paham 外側(Orang luar) dan 内側(Orang dalam) yang sejatinya ada dalam diri setiap manusia, tapi levelnya berbeda jauh dengan orang Jepang. Karena itulah kami memang memiliki beberapa teman, tapi belum memiliki teman yang benar-benar “Teman”. Tapi kurasa itulah tantangan dalam hidup yang harus dijalani dan itulah yang namanya exchange student.
Terlepas dari masalah, kehidupan sekolah di sini cukup mudah, hanya perlu mengikuti kelas dari jam 8 pagi sampai 3 sore, atau sampai jam 6 sore kalau punya aktivitas klub (aku ikut klub tenis). Karena pelajaran disampaikan dalam bahasa Jepang (termasuk pelajaran Bahasa Inggris), kami hanya perlu duduk manis sambil mengerjakan hal lain. Tentu saja kami juga tidak perlu mengikuti ujian. Tapi ada juga saat dimana kami harus memberikan presentasi, baik di dalam sekolah maupun di sekolah lain. Kami juga mengikuti 表現際(Festival Ekspresi) yang diisi dengan berbagai penampilan dari berbagai kelas dan grup, seperti dance, band, drama, dan lainnya. Kami juga menyambut tim football Australia yang datang untuk bertanding dengan tim sekolah kami. Kami bahkan pergi ke Disneyland Japan yang tiketnya dibeli oleh sekolah.
Itulah cerita tentang diriku yang mengejar mimpi, terjatuh, namun terus mengejarnya, mendapatkannya, lalu membuat mimpi yang baru. Aku tak akan bilang jangan menyerah, tapi hanya jangan berhenti berharap dan bermimpi. Setiap manusia diciptakan dengan keajaiban, dan setiap manusia memiliki secercah harapannya masing-masing. Ini adalah kisahku, lalu apa kisahmu?(fathir fathan)